Harta karun laut dari kawasan Segi Tiga Terumbu Karang kembali diungkap,
kali ini di wilayah Halmahera. Ilmuwan mengonfirmasi keberadaan spesies
baru hiu berjalan di wilayah tersebut yang kemudian dinamai Hemiscyllum halmahera.
Kisah penemuan hiu berjalan itu cukup panjang, bermula dari foto yang
diambil oleh penyelam asal Inggris, Graham Abbott, di perairan selatan
Halmahera pada tahun 2007.
Abbot mengirim foto jepretannya kepada Conservation International
(CI) untuk menanyakan apakah foto menunjukkan spesies hiu berjalan sama
dengan yang ditemukan di Kaimana dan Cendrawasih, yang baru saja
ditemukan saat itu.
Dari foto itu, ilmuwan di CI menyadari adanya perbedaan. Tahun
2008, bekerja sama dengan pemerintah provinsi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Universitas Khairun, Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA), dan The Nature Conservancy (TNC), CI melakukan survei potensi
konservasi kelautan dan pariwisata bahari di Halmahera, di mana hiu
berjalan ini dapat difoto lagi, tetapi spesimennya belum berhasil
dikoleksi.
Baru pada tahun 2012, dua spesimen hiu tersebut berhasil
dikoleksi. Penelitian berdasarkan spesimen itu akhirnya berhasil
mengungkap kebaruan spesies hiu berjalan di Halmahera itu. Secara resmi,
hiu berjalan Halmahera diumumkan sebagai spesies baru lewat publikasi
di Journal of Ichtyology yang terbit pada Juli 2013.
"Perbedaan signifikan spesies hiu berjalan ini adalah pada pola
warnanya, utamanya adanya sepasang bintik di bagian bawah kepalanya,
sementara bintik-bintik yang ada di bawah kepala lainnya membentuk pola
menyerupai huruf U," kata Mark Erdmann dari CI, yang juga terlibat dalam
identifikasi.
Pakar hiu dari LIPI, Fahmi, yang sedang melakukan penelitian tentang genus Hemiscyllium, mengungkapkan bahwa penemuan ini semakin menggarisbawahi keragaman hiu di perairan Indonesia timur.
"Ini merupakan spesies hiu berjalan ketiga yang dideskripsikan
dari Indonesia timur dalam enam tahun terakhir, yang menunjukkan
keanekaragaman elasmobrach di Indonesia," kata Fahmi.
Fahmi mengungkapkan, hiu berjalan merupakan spesies yang hidup di
perairan laut dangkal. Dikatakan berjalan karena gerakannya yang mirip
dengan gerakan berjalan fauna darat. Kenyataannya, hiu berjalan meliuk
dengan menggunakan siripnya. Hiu ini bisa berenang, tetapi hanya
mempergunakan kemampuan berenangnya untuk melarikan diri dari predator.
Menurut Fahmi, hiu berjalan memiliki perbedaan dengan hiu yang
pada umumnya dikenal manusia. Hiu berjalan jinak. Cara pernapasannya pun
berbeda. Golongan hiu ini hanya memakan udang, kepiting, dan
hewan-hewan kecil lainnya. Hiu berjalan punya gigi yang membantunya
menggerus makanan yang bercangkang.
Hingga kini, baru ada sembilan spesies hiu berjalan yang
ditemukan. Enam dari sembilan spesies tersebut ditemukan di wilayah
Indonesia, sementara tiga lainnya tersebar terbatas di wilayah Papua
Niugini dan utara Australia.
Hiu berjalan yang pertama ditemukan adalah H ocellatum di Australia. Selanjutnya, hiu berjalan ditemukan di Raja Ampat pada tahun 1824 (H freycineti), Australia pada 1843 (H trispeculare), dan Papua Niugini pada 1967 (H hallstromi dan H strahani).
Dalam satu dekade terakhir sebelum temuan kali ini, ditemukan tiga spesies hiu berjalan baru, di Kaimana (H henryi) dan Cendrawasih (H galei) tahun 2008 dan Papua Niugini (H michaeli) tahun 2010.
Fahmi menguraikan, hiu berjalan yang berhabitat di laut dangkal
merupakan hiu yang lebih modern dari hiu perenang dan buas yang hidup di
laut dalam. “Semakin ke darat maka semakin modern. Jadi, hiu berjalan
ini lebih modern dari hiu umumnya,” kata Fahmi.
Hiu berjalan merupakan jenis hiu yang relatif baru dikenal.
Istilah hiu berjalan sendiri tergolong baru. Dahulu, ilmuwan biasa
menyebutnya hiu tokek.
“Karena baru, masih banyak yang belum kita ketahui tentang hiu ini,” ungkap Fahmi.
Saat ini, Fahmi dan timnya akan berupaya untuk mengungkap
genetikanya, hubungan kekerabatan antar-jenis hiu berjalan, serta proses
evolusi yang menciptakannya.

Petunjuk sejarah geologi Halmahera
Erdmann mengatakan, temuan H Halmahera menarik karena mampu menunjukkan kemiripan distribusi hiu berjalan dengan burung cenderawasih dan sejarah geologi Halmahera.
"Penemuan spesies ini menarik karena genus Hemiscyllium
sebelumnya hanya ditemukan di Papua dan wilayah utara Australia. Kini,
seperti burung cenderawasih, ditemukan pula spesies yang berasal dari
Halmahera. Ini menunjukkan betapa dekat hubungan Papua dengan
Halmahera."
Hiu berjalan adalah fauna yang memiliki kemampuan gerak yang sangat terbatas. Bahkan, dalam publikasi penemuan ini di Journal of Ichtyology, Juli 2013, Erdmann mengungkapkan bahwa hiu berjalan ini mungkin tidak sanggup mengatasi banyak hambatan di lautan.
Dengan keterbatasan tersebut, pertanyaan tentang keberadaan hiu
berjalan di Halmahera muncul. Bagaimana bisa spesies yang semula
tersebar hanya di Papua dan Australia bagian utara itu bisa terdapat
juga di Halmahera yang berjarak 300 kilometer ke barat?
Publikasi menyebutkan bahwa sangat mungkin spesies H halmahera
yang ada kini merupakan keturunan dari moyangnya yang hidup di salah
satu fragmen wilayah Halmahera yang dulu masih berdekatan dengan Papua.
Salah satu teori mengungkapkan, ada fragmen wilayah Halmahera
dahulu berdekatan dengan Papua. Namun, pada masa Miocene dan
Pleistocene, fragmen itu bergerak menjauh ke barat, mencapai wilayahnya
kini pada beberapa juta tahun lalu.
Akibat proses tersebut, moyang H halmahera seperti
terseret ke wilayahnya sekarang, sedemikian sehingga jenis itu terus
berkembang dan bisa eksis di perairan Halmahera hingga saat ini.
Pakar tektonik dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano,
mengungkapkan bahwa skenario geologi yang kemudian memengaruhi
biodiversitas Halmahera itu "sangat mungkin."
Menurutnya, Halmahera setidaknya dipengaruhi oleh lempeng
Filipina dan subduksi ganda yang berada di tengah wilayahnya. Subduksi
ganda adalah pertemuan antar dua lempeng yang saling mendorong satu sama
lain. Subduksi ganda seperti di Halmahera hanya sedikit di dunia.
Pergerakan fragmen wilayah Halmahera di menjauhi Papua sendiri,
kata Irwan, diduga kuat karena aktivitas lempeng Filipina. Kepastian
waktu pergerakan itu belum diketahui.
"Kalau saat ini, Halmahera sedang bergerak ke barat," kata Irwan.
Secara teoretis, pergerakan itu sangat mungkin memengaruhi keragaman
fauna di Halmahera pada masa mendatang.

Rentan dan perlu perlindungan
Selain memiliki gerak yang terbatas, penyebaran spesies baru hiu berjalan ini pun sangat terbatas. H halmahera sendiri hanya bisa ditemui di Halmahera dan Pantai Weda, wilayah selatan Halmahera.
"Karena H halmahera memiliki distribusi yang sangat
terbatas maka sudah secara otomatis spesies itu dikategorikan rentan
terhadap kepunahan," kata Erdmann lewat surat elektronik kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
"Total populasinya sangat sulit untuk dikatakan, tetapi saya
memperkirakan dengan terbatasnya wilayah distribusi, jumlahnya tidak
lebih dari 10.000 individu," papar Erdmann.
Memang, saat ini hiu berjalan tidak banyak mendapatkan ancaman
seperti hiu lain yang diburu untuk siripnya. Namun, dengan kekhasan dan
endemisitasnya, hiu ini layak mendapatkan perlindungan khusus.
Perlindungan spesies hiu berjalan tidak hanya memberikan manfaat
bagi eksistensi spesies itu sendiri. Bak harta karun yang bila ditemukan
akan memperkaya pemiliknya, demikian pula halnya dengan hiu berjalan di
Halmahera ini.
Perilaku hiu berjalan meliuk dengan siripnya selama ini banyak
menarik perhatian penyelam. Bila dipelihara kelestariannya, Pemerintah
Provinsi Maluku bisa memanfaatkan spesies H halmahera sebagai aset pariwisata bawah laut. Paket wisata seperti walking shark sighting bisa dijual.
Agus Dermawan, Direktur Direktorat Direktorat Konservasi Kawasan
dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
mengatakan, selama ini terbukti bahwa harta karun laut seperti hiu dan
manta memiliki nilai ekonomi besar bila dipelihara kelestariannya.
Hiu yang dibiarkan hidup menjadi obyek wisata bahari memberi
sumbangan devisa Rp 300 juta hingga Rp 1,8 miliar per tahun. Sementara
bila dibunuh untuk mendapatkan siripnya, nilainya hanya Rp 1,3 juta per
ekor.
Sementara, ungkap Agus, bila dibiarkan hidup, manta dapat
memiliki nilai hingga 1,9 juta dollar AS untuk perekonomian kita
sepanjang hidupnya, dibandingkan dengan nilai jual dari daging dan
insangnya yang hanya bernilai 40–200 dollar AS.
Agus mengungkapkan, banyak spesies hiu, manta, serta jenis ikan
lain di perairan Indonesia timur terancam oleh praktik perikanan yang
tak ramah lingkungan, seperti pengeboman ikan dan penangkapan sirip hiu
untuk mendapatkan siripnya.
Direktur CI, Ketut Sarjana Putra, mengatakan, “Hiu berjalan baru
dari Halmahera dapat menjadi duta sempurna untuk menarik perhatian
publik pada kenyataan bahwa kebanyakan hiu tidak berbahaya bagi manusia
dan layak mendapat perhatian konservasi pada saat populasi hiu-hiu ini
sangat terancam oleh penangkapan berlebih."
Kawasan Maluku dan Papua adalah surga biodiversitas. Namun,
biodiversitas itu kini menghadapi ancaman, tidak hanya oleh aktivitas di
laut, tetapi juga di daratan, seperti sampah plastik dan program
reklamasi pantai.
Hiu halmahera, si harta laut yang langka, bisa menyejahterakan
atau hilang sia-sia. Semua tergantung bagaimana kita memperlakukannya.
Satu hal yang perlu diingat pula, belum semua harta karun laut timur
Indonesia yang terungkap. Bila hiu Halmahera ini sampai hilang, maka
boleh jadi Indonesia juga kehilangan harta lainnya yang belum diketahui.
Sumber Info: Kompas.Com